Ahlan Wa Sahlan
Photobucket

Pemimpin-pemimpin Sekolah Ugama Lumapas

School Links
Other Links

About School

INFO SEJARAH Ditubuhkan: Penghujung Tahun 50an di Sekolah Melayu Lumapas. Tenaga Pengajar Pertama: Allahyarham Cikgu Awg. Haji Yahya Bin Awg. Haji Abd Rahman. Bangunan Sementara: Ditubuhkan pada tahun 1978 dengan beratapkan zink dan berdindingkan pelapah buluh. Pada 1984, diperbaharui dengan dinding papan dan dilengkapi dengan bekalan air, elektrik dan sebagainya. Bangunan kekal: Dibina Pada 01 Oktober 1992, di bawah RKN ke-6 dengan belanja $2.5 Juta. Pada 12 Januari 1995: J.P.I menerima anak kunci dari J.K.R, kemudian diserahkan kepada Guru Besar, Cikgu Awang Haji Japar bin Haji Tengah. Dirasmikan: Oleh Yang Amat Mulia Pg.Indera Wijaya Dr. Haji Ismail bin Pg. Haji Damit. Pada 29 RabiulAwal 1417/13 September 1996, Hari Jumaat.


Archives

Shoutbox

Web Site Hit Counter



Friday, 1 May 2009
Mensyukuri Nikmat Allah blogg-ed at 14:52

Setiap manusia mempunyai tanggungjawab di bumi Allah ini. Selaku hamba Allah yang daif kadang-kadang kita merasa bahawa apa yang kita kerjakan itu sudah memadai tetapi semua itu hanyalah apa yang mampu kita rasakan. Apabila kita melihat manusia hari ini, seolah-olah mereka lupa betapa besarnya tanggungjawab kita terhadap diri kita, agama, Negara, kerjaya, keluarga dan masyarakat. Bahkan pula ada di antara mereka ini selalu merasakan dirinya sudah sempurna dan akibatnya mereka ini selalu menuding jari dengan mengritik serta memperkatakan hal orang lain. Tabiat mengumpat, menyindir, memperbesarkan hal yang remeh-temeh serta memperkecilkan keupayaan orang lain dan akibatnya terjadilah perselisih-fahaman. Renungkanlah, dimanakah letak diri kita? Sudahkah kita bermuhasabah diri kita? Mungkin hari ini kita mampu bersuara tetapi belum tentu kita dapat menjanjikan bahawa apa yang kita miliki hari ini akan dimiliki di hari esok.

Pernahkah kita menghitung di antara anugerah yang kita terima dari Allah? Tidak terbilang nikmat yang telah Allah anugerahkan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut, seperti firman Allah yang bermaksud: “Jika kamu menghitung nikmat Allah SWT, nescaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS 14:34). Belum lagi dengan nikmat yang lain seperti kesehatan, keamanan, keselamatan, derajat, pangkat, harta-benda, keluarga, tanah, air, udara, alam lingkungan dan sebagainya, ini jelas disebutkan yang mafhumnya: “Dia juga menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir batin (QS 31:20). Maka tidak hairanlah bahawa terdapat puluhan kali dalam Surat Ar-Rahman Allah menyeru: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Masih belum cukupkah nikmat yang kita terima agar mampu bersyukur?. “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah kepadamu, dan jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih" (QS 14:7). Ternyata dengan mensyukuri nikmat-pun Allah SWT masih akan memberi tambahan nikmat. Betapa Maha Pemurah Allah SWT itu.


Memang, nafsu serakah selalu menghambat langkah menuju syukur. Oleh karena itu diperlukan sikap qana’ah yaitu menerima apa adanya nikmat yang telah Allah berikan dengan berprasangka baik, bahwa semua itu adalah yang paling baik dan yang paling sesuai sesuai dengan porsi kita masing-masing. Dalam Hadith Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW berkata, "Jadilah kamu yang qana'ah, kelak kamu akan menjadi orang yang banyak bersyukur". Lalu, apakah syukur itu? Apakah syukur itu adalah mengajak kerabat untuk makan enak atau berpesta dengan maksud untuk berbagi rasa suka dan memberi motivasi mereka dalam mengejar prestasi yang sama atau bahkan melebihi?


Bukan! Hakikat syukur sebenarnya terletak pada demansi di antara “penerima nikmat” dengan “pemberi nikmat” serta pemanfaatan kenikmatan itu sendiri. Dalam pengertian itu syukur dapat kita bahagikan menjadi tiga tingkat.


Tingkat terendah adalah syukur verbal, yakni mengucapkan “terima kasih” atas nikmat yang diterima. Dengan mengucapkan terima kasih lalu penerima lantas merasa lepas ikatan dengan pemberi nikmat dan merasa punya otonomi penuh untuk mempergunakan kenikmatan sekehendak hatinya. Inilah yang disebut syukur ritual, syukur “sopan-santun” atau “basa-basi” belaka.


Syukur yang lebih tinggi, di samping mengucapkan terima kasih juga ditambah dengan pengakuan bahawa nikmat yang diterima adalah sebuah “amanah” atau kepercayaan. Sehingga dalam pemanfaatannya keterlibatan pemberi nikmat masih diperlukan. Misalnya seseorang yang diberi nikmat tubuh yang sehat dari Allah SWT, walaupun telah mengucap Alhamdulillah namun tetap berusaha mempergunakan tubuh sehatnya untuk berbuat kebaikan atau beribadah kepada-Nya. Syukur semacam ini memang sudah baik, tetapi masih belum sempurna.


Syukur yang sempurna, di samping mengucapkan terima kasih dan merasa menerima mandat, juga dilengkapi dengan mendaya gunakan nikmat seoptimal mungkin. Misalnya mensyukuri nikmat akal budi, disamping mengucap syukur dan menjaga amanah, juga dilengkapi dengan mengasah dan mengembangkannya terus menerus dengan belajar dari segala yang tersurat maupun yang tersirat di hamparan alam ini, serta mempergunakan nikmat itu sebaik-baiknya.

Cara mensyukuri nikmat sumber daya alam, disamping mengucap syukur dan memegang amanah juga dilengkapi dengan mengeskploitasi secara optimal namun bertanggung jawab, memberinya nilai tambah agar lebih bermanfaat. Cara mensyukuri nikmat hidup disamping mengucap syukur dan menjaga amanah adalah mengisi hidup ini sebaik-baiknya sehingga tidak merugikan orang lain, bahkan kita cuba sedaya mungkin dalam memberikan manfaat bagi manusia lain maupun lingkungan alam. Maka dengan mensyukuri nikmat yang tertinggi adalah bila nikmat yang diterima itu sangat bermanfaat dan berguna bagi diri sendiri maupun alam sekitar iaitu dengan menjalankan tanggungjawab seperti beribadah kepada Allah SWT kerana memang itulah tugas manusia sewajarnya, firman Allah yang mafhumnya bermaksud:


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).


Oleh: Zakwan Julay



Sekolah Ugama Lumapas Brunei IV.